Selasa, 23 April 2013

Lumping (wayang kulit) Cirebon mengenal banyak tokoh dan banyak perbedaan dibanding dengan Wayang kulit Jawa Tengah, terutama perbedaan tokoh panakawan. Diduga setelah penguasaan oleh Mataram pada paruh kedua abad 17, ternyata wayang Cirebon tidak terpengaruh oleh perubahan penguasaan Mataram di Jawa Barat. Begitu pula dengan wayang golek Cirebon. Banyaknya lakon dan wayang merupakan sumber yang kaya untuk pengetahuan yang dianggap bersejarah di darah Cirebon dan Sumedang.
Generasi tua di Cirebon menjunjung tinggi hal-hal tradisional serta legenda, sehingga legenda itu tetap hidup.
Di Kaliwedi , Arjawinangun, terdapat mitos, adanya dua buah wayang yang dibungkus dengan beberapa lembar kain putih; yang satu dikenal dengan Semar, yang satu lagi “hanya dikenal sebagai teman Semar”. Setelah petani menebarkan benih padi di sawah, maka pada malam Jum’at Kliwon, mereka akan datang menyambangi wayang ini, dengan membawa air untuk diberkati, sebagai syarat keberhasilan usaha tani nya, dan berharap panennya baik.
Pemberkatan air dilakukan dengan cara membuka bungkus wayang, kecuali lapis terakhir – dan hanya kuncenlah yang diperkenankan melihat wayang itu, kemudian wayang itu dibenamkan ke dalam air, disertai sedekah dari petani – wayang kenudian dibungkus lagi dan upacara selesai. Kain pembungkus itu amat diminati para petani, yang dapat diperoleh dengan menukarnya dengan kain yang baru.
Bila kuncen mendapatkan tangan-tangan wayang lepas dari ikatannya, maka hal itu merupakan pertanda panen gagal atau akan adanya bencana maupun wabah. Menurut keterangan, tangan yang lepas itu akan melekat kembali kepada wayangnya.
Upacara ini menunjukkan fungsi SEMAR sebagai Dewa Kesuburan Pertanian, biasanya sebelum menayangkan Semar , Dalang wayang Cirebon (biasanya dalang Wayang kulit yang kondang akan piawai pula memainkan wayang golek), akan menembangkan “pustaka ramakawi”:
Semar winangun tikang sara wara,
Dewa maya-maya katon raganing kelir,
Siti Bentar kang peputra
Semar asihe pendawa…
Semar mempunyai nama lain yaitu Kudapawana, Watukumpul dan Badranaya,
Terdapat versi keberadaan – silsilah Semar. Di Onderdistrik Kapetakan, Distrik Arjawinangun, versi keberadaan Semar diterangkan sebagai berikut:
Sanghyang Wenang menikah kepada Dewi Arini (Nurini) putri Prabu Ari (Nuradi) dari Pulau (Puncak gunung ) Keling, dan berputra Sanghyang Tunggal.
Pada suatu saat Sanghyang Tunggal bertapa, dan di tempat ia bertapa, tanahnya membesar, membuncah serta meledak,pecah keluarlah Dewi Siti Bentar, yang kemudian dinikahi oleh Sanghyang Tunggal.
Dari pernikahan ini Sanghyang Tunggal mempunyai 9(sembilan) anak, dua diantaranya lelaki yaitu Sanghyang Tismaya dan Sanghyang Ismaya.
Ketika di Suralaya akan diadakan pemilihan pengganti Sanghyang Tunggal sebagai penguasa Kahyangan , semuanya berminat menjadi penguasa, dan diadakanlah sayembara : Sesiapa yang dapat mencapai Bale Mercupunda, tanpa melorot kembali, dialah yang diangkat menjadi penguasa Suralaya atau Dewa Utama.
Sanghyang Tismaya berhasil mendapatkannya dengan tidak melorot, ia diangkat menjadi Batara Guru.




Ki lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong (dalam bahasa Sunda: bagong berarti babi hutan, celeng), yaitu Cepot atau Astrajingga, adalah anak tertua Semar, dan di versi wayang golek purwa- Sunda terkenal dengan sebutan Cepot atau Astrajingga , disebut juga Gurubug atau Kardun, sedang di Jawa Timur lebih dikenal dengan nama Jamblahita. Di daerah Banyumas, panakawan ini lebih terkenal dengan sebutan Bawor, Pada wayang Banjar – Kalimantan Selatan ia dipanggil Begung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar